Thursday, March 26, 2009

Komisi V DPR Takut Polisi Soal RUU LLAJ

Jakarta – Rancangan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RUU LLAJ) sedang digarap Komisi V (bidang transformasi dan perhubungan) DPR RI. Namun, terkait pasal kewenangan penggunaan SIM dan STNK tetap dipegang Polri, karena pihak Komisi V DPR tidak bakal berani mengalihkan wewenang tersebut ke Departemen Perhubungan (Dephub). Nampaknya, hukum di Indonesia tidak lepas dari deal-deal kepentingan berbagai pihak.

“Orang-orang (anggota, red) Komisi V DPR tidak bakal berani mengalihkan pengurusan SIM dan STNK ke Dephub. Sebab, saya dengar pihak Polri sudah mengancam DPR, apalagi Komisi V banyak kasusnya yang terdeteksi KPK. Makanya, Polri minta KPK nahan dulu untuk memeriksa oknum-oknum Komisi V. Tapi kalau sampai urusan SIM dan STNK diberikan ke Dephub, kasus-kasus Komisi V akan dibongkar semua oleh polisi,” ungkap sumber di DPR.

Kasus-kasus anggota Komisi V DPR yang sudah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) antara lain, kasus pengadaan 20 kapal patroli oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Dephub, serta kasus pembebasan lahan hutan lindung bagi pembangunan pusat pemerintahan Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri. Bahkan, KPK telah memeriksa Ketua Komisi V DPR Achmad Muqowam terkait kasus dugaan suap pembelian kapal patroli Dephub dengan tersangka anggota Komisi V Bulyan Royan.

RUU LLAJ yang sedang digarap DPR memang mendapat banyak kritikan. RUU ini dinilai kurang mengakomodasi pengembangan angkutan massal karena tidak memasukkan pasal tentang pengutamaan angkutan massal. “RUU LLAJ kurang mengatur masalah pengutamaan angkutan massal di Indonesia,” ungkap Wakil Ketua Masyarakat Transfortasi Indonesia (MTI) Haryo Setyoko dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (27/2).

Menurut Haryo, di banyak kota besar terdapat kenbdala efisiensi dalam penyelenggaraan angkutan. Mestinya, RUU LLAJ mendorong pemerintah dan pengusaha untuk mengembangkan angkutan umum harus lebih besar. Tapi, RUU ini malah tidka mengatur angkutan massal.

Dikemukakan, kendala efisiensi itu membuat sejumlah kota besar di Indonesia kurang memprioritaskan angkutan umum massal dengan trayek yang amburadul. Karena itu, Haryo meminta DPR dan pemerintah memikirkan masalah pengembangan angkutan umum massal melalui RUU LLAJ tersebut. Sejak April hingga kini, RUU LLAJ masih dibahas DPR. Pengajuan RUU LLAJ diajukan Dephub sebagai upaya revisi terhaap UU No. 14/1992 tentang LLAJ.

BAGAIMANA MENURUT ANDA????

Friday, March 20, 2009

DALAM PERHUBUNGAN

PPNS LLAJ adalah Penegak Hukum


PERMASALAHAN hukum yang saat ini terjadi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak terlepas dari sistem hukum yang saat ini terjadi di Indonesia. Sebenarnya masyarakat kita sangat mengharapkan suatu sistem hukum yang kondusif, sebab hukum diharapkan tidak hanya berperan untuk keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban namun, lebih dari itu hukum dapat diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat merasakan tidak adanya kepentingan hukum di bidang lalu lintas khususnya dalam hal pembagian kewenangan penegak hukum. Akibatnya banyak sekali terjadi permasalahan lalu lintas yang disebabkan oleh tidak jelasnya sistem penanganan terhadap pelanggaran yang terjadi. Salah satu permasalahan yang menonjol saat ini adanya persepsi yang menganggap bahwa PPNS LLAJ bukan penegak hukum.

Pernyataan yang mengatakan bahwa PPNS LLAJ bukan penegak hukum adalah pernyataan yang tidak beralasan dan tendensius guna mendukung suatu pendapat yang tujuannya mengecilkan peranan PPNS LLAJ. Sebenarnya pernyataan tersebut sudah terjawab dengan Pasal 1 butir a dan Pasal 6 KUHAP.
Dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP dijelaskan bahwa: Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang Undang untuk melakukan penyidikan.

Sedangkan Pasal 6 KUHAP butir 1 diuraikan bahwa Penyidik adalah: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang Undang.
Dari bunyi kedua pasal di atas jelas bahwa PPNS memang telah ditunjuk oleh Undang-Undang untuk menyidik pelanggaran tindak pidana peraturan perundang-undangan di Indonesia. Siapa saja sebenarnya penegak hukum di Indonesia? Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) sebagai Undang Undang yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana tidak membuat istilah penegak hukum.

Proses hukum secara pidana yang diuraikan dalam KUHAP merupakan proses penegakan hukum dan pihak-pihak yang ditunjuk dalam proses tersebut adalah merupakan penegak hukum.
Proses hukum acara pidana atau proses penegak hukum tersebut adalah:
1. Proses penyidikan diatur dalam Pasal 102 s/d Pasal 136 KUHAP.
Proses penyidikan terdiri dari: a. Dimulainya penyelidikan, b. Penyelidikan, c. Penindakan, d. Pemeriksaan, e. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara.

Pihak yang ditunjuk dalam proses penyidikan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 6, yaitu Polri dan PPNS. Namun saat ini berdasarkan peraturan perundangan lain seperti yang diatur dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang kemudian diuraikan lebih lanjut dalam PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Pada Pasal 17 Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang Undang tertentu yang dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kemudian di penjelasan dalam pasal 17, yaitu penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh Undang Undang tertentu dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Bagi zona tambahan, Tandas Continen dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia penyidikan dilakukan oleh perwira TNI-AL dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh Undang Undang yang mengaturnya. Hal ini juga diatur dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Pada Pasal 99 ayat (1) dikatakan bahwa selain Penyidik Pejabat POLRI, PNS tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran dan perwira TNI-AL tertentu diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran dimaksud dalam Undang Undang ini.

Di samping itu berdasarkan Undang Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK); Pemerintah juga menunjuk KPK juga sebagai penyidik penegak hukum.
2. Proses Penuntutan.
Diatur dalam Pasal 137 s/d 144 KUHAP
Pihak yang ditunjuk dalam melaksanakan penuntutan adalah jaksa (Jaksa Agung, Jaksa Tinggi, Jaksa Negeri beserta jajarannya).

3. Proses Peradilan
Diatur dalam Pasal 245 s/d Pasal 269 KUHAP
Pihak yang ditunjuk dalam melakukan proses peradilan adalah hakim (Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri beserta jajarannya)
4. Proses Eksekusi (Pelaksanaan hukum pengadilan) dilaksanakan oleh jaksa dan petugas Departemen Hukum dan HAM melalui lembaga pemasyarakatan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang ditunjuk oleh KUHAP sebagai penegak hukum di negeri ini adalah:
a. Penyidik yaitu 1) Polri, 2) PPNS, 3) Perwira TNI –AL, 4) KPK. b. Jaksa Penuntut Umum, c. Hakim di Pengadilan, d. Jaksa eksekutor beserta petugas lembaga pemasyarakatan

Jadi, tidak benar pernyataan yang mengatakan bahwa penegak hukum itu hanya Polri walaupun dalam Pasal 13 Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri disebutkan tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain adalah menegakkan hukum.
Dalam Pasal 3 Undang Undang No. 2 Tahun 2002 dikatakan bahwa PPNS adalah salah satu pegemban fungsi kepolisian, kemudian dalam Pasal 2 Undang Undang ini dijelaskan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi Pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Walaupun secara hierarki PPNS tidak termasuk dalam organisasi struktural Polri namun fungsi kepolisian yang diemban PPNS adalah bersifat fungsional. Intinya dalam menjalankan tugas, sebenarnya PPNS telah bertindak membantu salah satu fungsi Polri di bidang penegakan hukum.

PPNS BERWENANG MEMASANG DAN MENGGUNAKAN SIRENE DAN LAMPU ROTATOR
Seperti diuraikan pada bagian terdahulu, PPNS (tentunya termasuk juga PPNS LLAJ) adalah termasuk dalam kelompok penegak hukum atau sering disebut dengan istilah aparat penegak hukum. Walaupun istilah penegak hukum tidak digunakan di dalam KUHAP, namun di dalam peraturan pelaksanaan dari Undang Undang Nomor 14 Tahun 1992 yaitu PP 43 Tahun 1992 dan PP 44 Tahun 1993 terdapat paling tidak 4 buah pasal yang menyatakan istilah penegak hukum sesuai dengan uraian Pasal 53 ayat (1) Undang Undang Nomor 14 Tahun 1992, Penyidik Undang Undang No. 14 Tahun 1992 adalah Pejabat Polri dan Pejabat PNS tertentu di lingkungan Departemen yang melingkupi tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Lalu Lintas Angkutan Jalan.

Penyidik itu sendiri adalah penegak hukum, maka penegak Undang Undang No. 14 Tahun 1992 tentunya adalah Pejabat Polri dan PPNS LLAJ. Artinya yang dimaksud dengan istilah penegak hukum dalam PP No. 43 Tahun 1993 dan PP No. 44 Tahun 1993 tersebut tentunya adalah Penyidik Polri dan PPNS LLAJ.
Dalam Pasal 72 PP 43 Tahun 1993 diuraikan bahwa isyarat peringatan dan bunyi yang berupa sirene hanya dapat digunakan oleh:

a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas kendaraan yang diperbantukan untuk keperluan pemadam kebakaran.
b. Ambulans yang sedang mengangkut orang sakit.
c. Kendaraan jenazah yang sedang mengangkut jenazah.
d. Kendaraan petugas penegak hukum tertentu yang sedang melaksanakan tugas.
e. Kendaraan petugas pengawal kepala negara atau pemerintah asing yang menjadi tamu negara.
Kemudian dalam Pasal 75 PP 44 Tahun 1993 dijelaskan juga bahwa peringatan bunyi sirene hanya boleh dipasang pada kendaraan bermotor:
a. Petugas penegak hukum tertentu, b. Dinas Pemadam Kebakaran, c. Penanggulangan bencana, d. Kendaraan ambulans, e. Unit Palang Merah, f. Mobil jenazah.

Ada perbedaan yang mendasar dari Pasal 72 PP 43 Tahun 1993 dan Pasal 75 PP 44 Tahun 1993, Pasal 75 PP 44 Tahun 1993 memuat ketentuan memasang alat pemberi isyarat. Peringatan bunyi berupa sirene pada sebuah kendaraan milik penegak hukum sedangkan Pasal 72 PP 43 1993 mengatur ketentuan penggunaan isyarat peringatan bunyi berupa sirene itu sendiri bagi kendaraan penegak hukum tertentu yang sedang melaksanakan tugas.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa PPNS LLAJ yang nota bene adalah penegak hukum tertentu di bidang LLAJ berwenang memasang dan menggunakan sirene pada kendaraan saat melaksanakan tugas.

Peralatan sirene dewasa ini biasanya dipasang bersamaan dengan lampu rotator yang berfungsi sebagai lampu peringatan pemberi isyarat tanda-tanda lainnya dengan warna biru dan merah.
Pada Pasal 74 PP 43 Tahun 1993 diatur bahwa:
1) Pengemudi kendaraan dilarang:
a. Menyalakan lampu-lampu dan/atau menggunakan lampu selain yang telah diwajibkan kecuali tidak membahayakan atau mengganggu pemakai jalan lain.
b. Menyalakan lampu utama jauh pada waktu berpapasan dengan kendaraan lain.
c. Menyalakan lampu kabut pada cuaca terang.
d. Menutup lampu petunjuk arah, lampu undur, lampu rem, lampu isyarat peringatan bahaya dan lampu tanda berhenti untuk bus sekolah.
e. Menyalakan lampu peringatan berwarna biru dan merah kecuali pengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 73.
2). Pengemudi kendaraan bermotor wajib:
b. Menjaga agar lampu pada kendaraannya tetap berfungsi dan tidak menyilaukan pengemudi kendaraan yang lain.
c. Menyalakan lampu petunjuk arah pada waktu akan membelok atau balik arah.
d. Menyalakan lampu tanda berhenti bagi pengemudi bus sekolah, waktu menurunkan dan/atau menaikkan penumpang.
e. Menyalakan lampu peringatan berwarna biru dan merah bagi pengemudi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.
f. Menyalakan lampu peringatan berwarna kuning bagi pengemudi kendaraan bermotor untuk penggunaan tertentu atau yang mengangkut barang tertentu.
Kemudian Pasal 66 PP 44 Tahun 1993 menguraikan bahwa lampu isyarat berwarna biru hanya boleh dipasang pada kendaraan bermotor:
a. Petugas-petugas hukum tertentu, b. Dinas Pemadam Kebakaran, c. Penanggulangan bencana, d. Ambulans, e. Unit Palang Merah, f. Mobil jenazah
Sama halnya dengan aturan mengenai sirene; Pasal 66 PP 44 Tahun 1993 adalah aturan yang mengatur kewenangan untuk memasang lampu rotator, sedangkan Pasal 74 PP 43 Tahun 1993 adalah aturan yang mengatur kewenangan menggunakan lampu rotator.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa PPNS LLAJ sebagai penegak hukum tertentu di bidang LLAJ berwenang memasang dan menggunakan lampu rotator yang berwarna biru dan merah.
Pada Pasal 74 ayat (2) PP 43 Tahun 1993 maupun Pasal 66 PP 44 Tahun 1993 hanya disebutkan lampu peringatan berwarna biru, padahal kedua ketentuan ini berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 74 ayat (1) PP 43 Tahun 1993 butir e yang mengatur kewajiban bagi penegak hukum tertentu untuk menyalakan lampu biru dan merah.
Dari segi instansi, Dinas Perhubungan atau Dinas LLAJ memang bukan instansi penegak hukum, namun individu atau pejabat instansi yang ada dalam instansi tersebut dapat ditunjuk sebagai penegak hukum. Hal ini sama halnya dengan Polri, pengadilan, dan kejaksaan; penegak hukum bukannya instansi tapi orang-orang tertentu yang ditunjuk oleh Undang Undang. Untuk itu sebagai contoh petugas Polri dengan pangkat Briptu ke bawah atau pegawai Polri yang bertugas di bagian Korsik (Korp Musik) tentunya tidak dapat dikategorikan sebagai penegak hukum, begitu juga halnya dengan kejaksaan dan pengadilan; tidak semua pegawai kejaksaan atau pegawai pengadilan dapat ditunjuk sebagai penegak hukum.
Jadi bilamana ada mobil atau kendaraan milik Dinas Perhubungan atau Dinas LLAJ memasang dan menggunakan sirene dan lampu rotator hal itu semata-mata akan digunakan oleh PPNS LLAJ untuk penegakan hukum dan tugas operasional lainnya sesuai dengan tugas pokok dan kewenangannya.
PENGAWALAN LALU LINTAS OLEH PPNS
Dalam Pasal 65 ayat (1) PP 43 Tahun 1993 dijelaskan bahwa pemakai jalan wajib mendahulukan sesuatu urutan prioritas sebagai berikut:
1. Kendaraan pemadam kebakaran yang melaksanakan tugas.
2. Ambulans yang mengangkut orang sakit.
3. Kendaraan untuk memberi pertolongan pada kecelakaan lalu lintas.
4. Kendaraan kepala negara atau pemerintah asing yang menjadi tamu negara.
5. Iring-iringan pengantar jenazah.
6. Konvoi pawai atau kendaraan orang cacat.
7. Kendaraan yang penggunaannya untuk keperluan khusus mengangkut barang-barang khusus.
Ketentuan ini adalah sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 71 Undang Undang No. 14 Tahun 1992 yang mengamanatkan peraturan pemerintah untuk mengatur penggunaan jalan, untuk kelancaran bagi pengantaran jenazah, pemadam kebakaran, kendaraan kepala negara dan pemerintah asing, ambulans, konvoi pawai, kendaraan orang cacat dan kendaraan barang khusus.
Pada ayat (2) Pasal 65 PP 43 Tahun 1993 diuraikan bahwa kendaraan yang mendapat prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dengan pengawalan petugas yang berwenang atau dilengkapi dengan isyarat atau tanda-tanda lain.
Dari uraian di atas tergambar bahwa kelompok pemakai jalan yang diberikan keistimewaan berupa prioritas atau hak untuk didahulukan dan sistem perlalulintasan dapat dilakukan melalui:
1. Pengawalan petugas yang berwenag.
2. Dilengkapi dengan isyarat atau tanda-tanda lain.
Tapi celakanya dalam penjelasan Pasal 65 PP 43 Tahun 1993 tidak ada penjelasan siapa yang dimaksud dengan petugas yang berwenang melakukan pengawalan tersebut; Walaupun dalam penjelasan tersebut dikatakan cukup jelas. Pihak Polisi Lalu Lintas mengklaim bahwa yang dimaksud dengan petugas yang berwenang tersebut adalah Petugas Polisi Lalu Lintas. Oleh karenanya, yang berwenang melakukan pengawalan lalu lintas tersebut hanyalah petugas Polisi Lalu Lintas. Adapun alasan-alasannya:
1. Sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (1) butir a Undang Undang No. 2 tentang Polri dikatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
2. Hanya Polri yang memiliki kewenangan DISKRESI sehingga kegiatan pengawalan tersebut dapat dilakukan dengan baik.
3. Sesuai ketentuan Pasal 34 PP 43 Tahun 1993 hanya petugas polisi yang memberikan kewenangan untuk melakukan tindakan:
a. Menghentikan arus lalu lintas dan/atau pemakai jalan tertentu.
b. Memerintahkan pemakai jalan untuk terus jalan.
c. Mempercepat arus lalu lintas.
d. Memperlambat arus lalu lintas.
e. Mengubah arus lalu lintas.
Tindakan-tindakan tersebut menurut versi Polantas diperlukan dalam tindakan pengawalan
4. Selama ini pengawalan presiden sebagai kepala negara selalu menggunakan polisi.
Istilah pengawalan dalam Pasal 14 Undang Undang No. 2 Tahun 2002 sebenarnya sangat berbeda dengan pengertian pengawalan dalam Pasal 65 PP 43 Tahun 1993. Pengawalan menurut Undang Undang No. 2 Tahun 2002 lebih dititikberatkan kepada tugas pokok kepolisian dalam memelihara keamanan dan memberi perlindungan kepada masyarakat. Sedangkan pengawalan dalam PP 43 Tahun 1993 tidak berhubungan erat dengan pengawalan, karena esensi prioritas dalam Pasal 65 PP 43 Tahun 1993 pada dasarnya adalah bukan dari perintah petugas tapi lebih ditekankan kepada isyarat atau tanda-tanda lain yang diperlihatkan untuk kelompok pemakai jalan yang akan diberikan hak prioritas oleh pemakai jalan lain, baik yang ada pada kendaraan petugas yang melakukan pengawalan atau pada (salah satu) kendaraan yang ada dalam kelompok pemakai jalan yang dapat prioritas tersebut.
Oleh karena itu, pemberian prioritas atau hak utama pengguna jalan untuk melancarkan lalu lintas tidak harus menggunakan petugas pengawalan yang berwenang tapi dapat juga dengan jalan menunjukkan isyarat atau tanda-tanda lain dari kendaraan lain yang diberi hak kewenangan oleh Undang Undang untuk memasang dan menggunakan isyarat atau tanda-tanda lain tersebut.
Walaupun dalam Pasal 65 PP 43 Tahun 1993 tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘’ISYARAT’’ dan ‘’TANDA LAIN’’ tersebut, pada pasal lain ada ketentuan tentang bunyi dengan sirene dan tanda-tanda lampu berwarna merah, biru dan kuning yang hanya diperkenankan kepada pemakai jalan atau kendaraan tersebut.
Seperti yang diuraikan pada bagian yang terdahulu, isyarat peringatan dengan bunyi berupa sirene dan tanda-tanda berupa lampu peringatan berwarna biru atau merah hanya boleh digunakan oleh:
a) Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas termasuk kendaraan yang diperbantukan untuk keperluan pemadam kebakaran.
b) Ambulans yang sedang mengangkut orang sakit.
c) Kendaraan jenazah yang sedang mengangkut jenazah.
d) Kendaraan petugas penegak hukum tertentu yang sedang dalam melaksanakan tugas.
e) Kendaraan petugas pengawal, kendaraan kepala negara atau pemerintah asing yang menjadi tamu negara.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
Kendaraan pemadam kebakaran, ambulans, kendaraan jenazah, dan kendaraan pengawal kepala negara atau pemerintah asing adalah kelompok pemakai jalan yang tidak memerlukan pengawalan petugas, namun masih tetap mendapatkan hak prioritas dan kelompok ini mempunyai hak DISKRESI untuk mengalahkan aturan perintah berhenti yang diberikan oleh APILL walaupun tanpa ada petugas yang mengawalnya.
Sedangkan kendaraan yang penggunaannya untuk mengangkut barang-barang khusus akan tetap mendapatkan hak prioritas tanpa pengawalan petugas yang berwenang dengan cara menggunakan lampu isyarat berwarna kuning. Hal ini sesuai dengan aturan Pasal 67 PP 43 Tahun 1993 bahwa lampu isyarat berwarna kuning hanya boleh dipasang pada kendaraan bermotor:
a) Untuk membangun, merawat, atau membersihkan fasilitas umum.
b) Untuk mendesak kendaraan
c) Pengangkut barang yang berbahaya dan beracun, limbah bahan berbahaya dan beracun, peti kemas dan alat berat.
d) Yang mempunyai ukuran lebih dari ukuran maksimum yang diperbolehkan untuk dioperasikan di jalan.
e) Milik instansi pemerintah yang dipergunakan dalam rangka keamanan barang yang diangkut.
Kendaraan yang digunakan keperluan khusus ini hanya mendapat hak prioritas di jalan, namun tidak mempunyai hak DISKRESI untuk mengalahkan perintah berhenti (lampu merah) APILL.
Kelompok pemakai jalan berupa konvoi, pawai, dan kendaraan orang cacat untuk mendapatkan hak prioritas dan harus dilakukan dengan pengawalan petugas yang berwenang atau paling tidak posisi paling depan kendaraan peserta konvoi, pawai, atau kendaraan orang cacat tersebut dan juga ditempatkan sebuah kendaraan yang dapat menggunakan isyarat sirene dan tanda lampu peringatan berwarna merah dan biru.
Kendaraan yang memungkinkan untuk itu adalah kendaraan petugas penegak hukum. Artinya kendaraan petugas penegak hukum tersebut dapat berfungsi sebagai isyarat atau tanda-tanda lainnya.
Karena PPNS LLAJ masih diperdebatkan kewenangannya dalam melakukan pengawalan, maka untuk membantu kelancaran lalu lintas Petugas PPNS LLAJ dapat menempatkan diri di posisi paling depan konvoi, pawai, atau kendaraan orang cacat serta kendaraan untuk memberi pertolongan pada kecelakaan lalu lintas. Pada prinsipnya hal ini bukanlah kegiatan pengawalan, karena fungsinya hanya sebagai pemberi isyarat dan peringatan tanda-tanda lainnya agar kelompok kendaraan yang ada di belakangnya tetap terlihat oleh pemakai jalan untuk didahulukan (diberikan prioritas).
Akhir-akhir ini banyak sekali kegiatan pengawalan yang dilakukan baik oleh Polri maupun PPNS LLAJ terhadap kendaraan kepala daerah (gubernur, bupati, ataupun walikota). Pengawalan tersebut dilakukan terhadap kendaraan tunggal (hanya satu unit kendaraan milik kepala daerah). Kegiatan tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan pengawalan yang diatur dalam PP 43 Tahun 1993. Artinya kendaraan kepala daerah tersebut tidak mendapatkan hak untuk mendapatkan prioritas dari pemakai jalan.
Pengawalan yang dilakukan terhadap kendaraan kepala daerah tersebut tidak termasuk kegiatan pengawalan lalu lintas namun termasuk kegiatan protokoler yang diatur dalam Undang Undang Protokoler. Untuk penerapan di daerah diperlukan aturan lebih lanjut yang bersifat mengatur seperti Perda atau peraturan gubernur/walikota/bupati.
Namun terlepas dari semua itu sebaiknya bidang tugas pengawalan tidak dijadikan salah satu tugas pokok PPNS LLAJ. Tugas pengawalan hanya merupakan tugas perbantuan yang dilakukan oleh PPNS LLAJ bila tidak tersedia petugas pengawalan dari Polri. Karena tugas pengawalan memiliki risiko yang tinggi dan memerlukan koordinasi di lapangan yang utuh sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (3) bahwa petugas yang berwenang mengatur lalu lintas tentunya dalam hal ini Polantas, melakukan pengamanan apabila mengetahui adanya pemakai jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Artinya dalam kegiatan pengawalan ‘’petugas pengawal’’ memerlukan koordinasi antara lain berupa komunikasi dengan menggunakan alat komunikasi portable dengan petugas Polri yang ada di lapangan. Hal ini tidak akan berjalan optimal apabila yang melakukan pengawalan adalah PPNS LLAJ, karena akan terjadi kesulitan bagi PPNS LLAJ untuk memasuki komunikasi Polri.#

Friday, March 13, 2009

BERITA DUKA



BERITA DUKA IKAMA

Telah berpulang ke Pangkuan Yang Maha Kuasa
saudara/ kakak kita ADNAN, A.Ma PKB
selama ini mengemban tugas pada DINAS PERHUBUNGAN TANJUNG PINANG KEP.RIAU
pada :
hari : Jum'at
tanggal : 13 Maret 2009
Pukul : 01.00 wib (
Di RSCM Jakarta )
Beliau meninggal karna sakit Stroke, Almarhum tutup usia 42 Tahun

Semoga Arwah beliau diterima di sisi Nya dan diberi ketabahan kepada keluarga yang ditinggalkan
akhir kata saya mohon doa dari semua pengunjung blogger IKAMA ini.

Salam Ikama....